Kesadaran Melestarikan Lingkungan Di Pulau Pahawang

Rabu, 28 April 2010

Kesadaran Melestarikan Lingkungan Di Pulau Pahawang ;Minggu siang itu matahari bersinar terik. Namun, panasnya tidak begitu terasa, terhalang tanaman mangrove dan barisan pohon kelapa yang menjulang tinggi. Di tengah desiran angin, dari balik kerimbunan bakau tiba-tiba terdengar suara ribut anak-anak. ”Sudahlah, tanam di sini saja. Jangan terlalu jauh-jauh,” pekik seorang bocah perempuan.

”Jangan! Harus diberi jarak agak jauh supaya jika besar nanti tumbuhnya tidak berdempetan dan bisa tetap hidup,” kata bocah lainnya yang lebih tua seraya memindahkan bibit-bibit bakau yang telanjur ditanam.

Siang itu, pada Minggu ketiga April 2010, belasan anak Pulau Pahawang, Kecamatan Punduh Pedada, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, tengah melakukan reboisasi mangrove. Lumpur, genangan air setinggi 0,5 meter, dan nyamuk malaria yang berseliweran di antara rerimbunan mangrove tidak menghalangi antusiasme mereka.

”Nah, selesai. Cepat tumbuh besar, ya,” ujar Riana Sari (11), siswa SD Negeri 1 Pahawang, seolah mengajak bicara bibit bakau yang ditanamnya. Itu adalah bibit ketiga yang telah ditanamnya selama setahun terakhir.

Kegiatan reboisasi mangrove ini adalah hal rutin yang dilakukan bocah-bocah yang tergabung di dalam kelompok Anak Peduli Lingkungan. Anggota kelompok ekstrakurikuler di SD Negeri 1 Pahawang itu kini beranggotakan sekitar 50 orang. Siang itu, mereka tengah memperkenalkan cara menanam bakau kepada rombongan ELTI, lembaga kursus yang berdomisili di Bandar Lampung.

Lembaga kursus ini tertarik dan ingin membuktikan cerita mengenai kepedulian warga Pahawang akan lingkungan pesisir dan lautnya. Di seantero Lampung, cerita tentang keteladanan warga Pahawang menyelamatkan mangrove sudah menjadi buah bibir. Kehidupan di pulau seluas 1.040 hektar dan berpenduduk 1.665 jiwa ini bahkan menjadi semacam laboratorium studi mengenai gerakan penyelamatan lingkungan wilayah pulau dan pesisir.

Endemik malaria

Pulau yang terletak di Teluk Lampung ini dulu tidak ubahnya kawasan pesisir lainnya di Lampung yang mengalami kerusakan dahsyat, baik ekosistem mangrove maupun terumbu karangnya. Kawasan mangrove dirusak aktivitas tambak dan penebangan liar sejak tahun 1975, sementara areal terumbu karang dihancurkan bom-bom ikan yang marak pada akhir 1990-an.

Akibatnya, di pengujung 1980-an, Desa Pahawang pernah diterpa wabah penyakit malaria. Hampir semua warga terjangkit penyakit ini.

”Karena habitat (hutan bakau) mereka rusak, nyamuk-nyamuk malaria ini lalu masuk ke wilayah permukiman. Tidak hanya itu. Dahulu, akibat mangrove habis, pantai kami kena abrasi, air laut pun sampai masuk ke dapur. Ibu-ibu jadi tidak bisa masak,” kenang M Syahril Karim, tokoh warga Pahawang.

Pulau Pahawang pernah tercatat sebagai daerah endemik malaria dan habitat nyamuk malaria (Anopheles) kedua terbesar setelah Papua. Perlahan, berkaca dari pengalaman pahit itu, didukung bimbingan LSM Mitra Bentala, masyarakat Pahawang mulai berbenah diri dan mengubah kebiasaannya.

Warga yang dahulu hidup dengan merusak lingkungannya akhirnya mulai mengubah kebiasaan buruk mereka. Salah satunya Salim (36), warga Dusun VI, Desa Pahawang. Salim yang dahulu hobi mengebom karang dan menebangi mangrove kini justru rajin menanam bakau. Ia ngeri melihat dampak tsunami Aceh dan berharap itu tidak terjadi di desanya.

”Kalau bukan kami sendiri yang bertindak, siapa lagi?” tutur Isnen Hayani (38), warga Pahawang lainnya, yang secara sukarela menjaga kawasan mangrove dan terumbu karang seluas 30 hektar dari ancaman perusakan. Awalnya, ia kerap dimusuhi oleh tetangganya karena melakukan hal ini.

Sejak gerakan kembali ke lingkungan ini diembuskan 12 tahun silam, perlahan hasilnya terlihat nyata. Sebagian area pesisir yang dahulu botak, kotor, dan dipenuhi jamban milik warga, kini mulai hijau kembali oleh mangrove. Pantai yang dulu penuh sampah kini terlihat bersih dan bening layaknya cermin air raksasa berwarna kebiru-biruan.

Untuk menyolidkan gerakan konservasi lingkungan, warga dan tokoh-tokoh desa berinisiatif membuat aturan mengikat, yaitu peraturan desa. Peraturan desa tahun 2006 inilah yang kemudian melahirkan otoritas Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove (BPDPM) yang diketuai Syahril Karim.

BPDPM kemudian membuat ketentuan zonasi daerah perlindungan mangrove dan pesisir. Zona inti seluas 30 hektar yang ditandai plang merah, misalnya, disepakati sebagai area terlarang total, tidak boleh dilewati warga tanpa izin, apalagi dirusak.

”Jika ada yang melanggar, menebang satu, akan ditegur dan wajib ganti 10 pohon. Aturan ini sekarang sudah dibuat legal oleh Pemerintah Kabupaten Pesawaran,” tutur Kamaludin, Kepala Desa Pahawang.

Menyadari masa depan kesinambungan penyelamatan lingkungan terletak di pundak anak- anak, warga, guru, kepala SD negeri Pahawang, dan LSM Mitra Bentala pun sepakat memasukkan materi penyelamatan lingkungan pesisir dan laut ke dalam materi muatan lokal. ”Ini sudah berjalan setahun terakhir. Setiap Sabtu, anak kelas IV diajarkan materi mangrove, kelas V tentang terumbu karang, dan kelas VI pengelolaan sampah. Setiap minggu mereka lalu praktik,” kata Endro Sucipto (22), relawan dari Mitra Bentala.

Lewat gerakan penyelamatan lingkungan pesisir sejak dini, masyarakat Pahawang kini tidak lagi panik menyikapi ancaman pemanasan global, misalnya, apalagi berniat pindah ke daratan. Sebaliknya, mereka terus mencoba hidup berdampingan lagi dengan alam. Dengan semangat dan kesadaran itu, mereka percaya alam pun akan bersikap baik kepada mereka.

Paling tidak, setelah mereka mengembalikan kondisi mangrove seperti sediakala, kawanan nyamuk malaria pun kian jarang bertandang ke kampung mereka. Ini bukan sebuah keajaiban.

Baca Juga :



0 komentar:

Posting Komentar